Jakarta, Indonesia, memiliki sejarah panjang yang berakar pada era kolonialisme. Salah satu bab paling menarik dalam kisah ini adalah terkait dengan VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie, yang meninggalkan banyak pelajaran berharga tentang kekuasaan dan dampaknya terhadap rakyat.
Berbagai tindakan kejam dan tidak adil yang dilakukan oleh para pejabat VOC telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam ingatan masyarakat. Salah satu pejabat kontroversialnya, Qiu Zuguan, menjadi simbol dari kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Qiu Zuguan merupakan kepala lembaga Boedelkamer yang mengatur harta warisan orang-orang Tionghoa di Batavia, saat ini dikenal sebagai Jakarta. Meskipun jabatannya tidak sepenting Gubernur Jenderal VOC, perannya sangat strategis karena harus berhadapan langsung dengan warga.
Di bawah kepemimpinannya, banyak warga Tionghoa yang memilih kembali ke negara asal mereka, membawa serta aset-aset berharga. Qiu, sebagai pejabat yang bertanggung jawab, ditugaskan untuk menarik pajak dari aset yang dibawa pulang dan mengurus hal-hal administratif terkait warisan yang ditinggalkan.
Kebijakan Pajak yang Menghimpit Rakyat
Pada masa Qiu, diterapkan berbagai kebijakan pajak yang sangat membebani masyarakat. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan VOC, namun pada akhirnya justru menghimpit rakyat yang sudah dalam kesulitan. Hampir setiap aspek kehidupan dikenakan pajak, termasuk acara-acara penting seperti pernikahan.
Warga Tionghoa yang ingin merayakan pernikahan terpaksa membayar pajak yang tidak sedikit. Jika mereka tidak mampu membayar, maka berbagai ancaman akan menghampiri mereka. Hal ini menambah derita yang telah mereka alami sebelumnya.
Selain itu, ketika seseorang meninggal dunia, keluarga yang berduka juga harus membayar pajak untuk mendapatkan sertifikat kematian. Sebagian besar dari mereka merasa sangat tertekan dengan beban pajak yang seharusnya tidak perlu mereka tanggung di saat berduka.
Dengan situasi yang semakin sulit, rasa benci masyarakat terhadap Qiu semakin membara. Tertulis dalam berbagai catatan sejarah bahwa rakyat Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang paling sengsara akibat kebijakan pajak yang diskriminatif ini.
Benny G. Setiono mencatat dalam bukunya bahwa tidak jarang mereka dikenakan pajak kepala dan kuku, dan jika ada yang menolak membayar, konsekuensinya adalah denda yang berat atau hukuman penjara. Dalam kondisi seperti ini, patuh pada hukum yang tidak adil seakan menjadi pilihan terakhir bagi mereka.
Reaksi Masyarakat Terhadap Kematian Qiu Zuguan
Pada Juli 1721, kabar duka datang dari Qiu Zuguan yang meninggal dunia. Kematian seorang pejabat yang kontroversial seharusnya menjadi momen refleksi bagi masyarakat, tetapi tidak demikian yang terjadi. Sebagian warga merasa lega, dan kesempatan untuk melampiaskan rasa benci akhirnya datang.
Tradisi biasanya mengharuskan masyarakat untuk menghormati jenazah tokoh atau pejabat penting. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Qiu, di mana tidak ada satu pun warga yang mau mengangkut petinya menuju tempat peristirahatan terakhir. Hal ini menjadi simbol penolakan rakyat terhadap kebijakan yang telah memperlakukan mereka dengan tidak adil.
“Peti mati berisi jasad Qiu diletakkan di tengah jalan, tanpa ada satupun yang bersedia membantu,” ungkap sejarawan Leonard Blusse, menggambarkan situasi tersebut. Penolakan ini mencerminkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh kebijakan Qiu.
Keluarga Qiu pun dalam kebingungan, berusaha membujuk warga untuk mengantar jenazah, namun semua usaha itu ditolak. Pada akhirnya, mereka terpaksa menyewa warga lokal untuk mengusung peti Qiu menuju kuburan. Bahkan setelah dikuburkan, ingatan akan kebijakan yang menyengsarakan tetap hidup dalam benak masyarakat.
Peristiwa ini bukan hanya sekadar momen kematian seorang pejabat, tetapi sebuah cermin dari hubungan yang hancur antara penguasa dan rakyat. Kejadian ini menggambarkan betapa pentingnya keadilan dan empati dalam kepemimpinan.
Pelajaran dari Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan
Kisah Qiu Zuguan seharusnya menjadi pengingat bagi generasi saat ini tentang bagaimana kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat bisa menciptakan kebencian. Setiap tindakan pemerintah seharusnya diambil dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat. Kebijakan pajak yang diberlakukan seharusnya adil dan tidak memberatkan warga.
Melihat sejarah, sudah seharusnya kita belajar dari kesalahan masa lalu dan berupaya untuk tidak mengulangi hal yang sama. Dengan memahami betapa kuatnya dampak dari kebijakan yang salah, kita bisa membangun sistem yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Penting bagi setiap pemimpin untuk mendengarkan suara rakyat dan memperhatikan kebutuhan serta hak mereka. Keterbukaan dan keadilan adalah pondasi dari sebuah pemerintahan yang baik. Tanpa hal tersebut, ketidakpuasan dan penolakan dari masyarakat akan tetap muncul, seperti yang terjadi pada masa Qiu.
Akankah kita mampu menghindari kesalahan yang sama? Sejarah mengajarkan bahwa setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan rakyat. Dengan belajar dari pengalaman seperti kisah Qiu Zuguan, diharapkan para pemimpin masa depan dapat lebih bijaksana dan adil.
Keberanian untuk mengakui kesalahan serta berusaha memperbaikinya adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Harapan akan perubahan tidak hanya bergantung pada tindakan pemimpin, tetapi juga pada kesadaran dan tindakan warga untuk menuntut keadilan dari penguasa.
