Kasus penipuan yang melibatkan aktivitas transfer ilegal di berbagai bank baru-baru ini telah mengejutkan industri perbankan dan masyarakat luas. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 200 miliar menjadi sorotan serius mengenai tingginya risiko keamanan siber dalam sistem keuangan Indonesia.
Ketua Indonesian Risk Professional Association (IRPA), Alan Yazid, menegaskan bahwa potensi ancaman siber terhadap sektor keuangan semakin meningkat. Dampak dari ancaman ini bisa berujung pada hilangnya kepercayaan nasabah serta krisis likuiditas yang dapat memperburuk stabilitas sistem keuangan negara.
“Gangguan siber yang besar bisa menghentikan layanan yang sangat penting, merusak citra positif bank, dan bahkan memicu krisis lebih lanjut,” kata Alan, saat merilis publikasi berbasis risiko yang bertujuan membantu bank-bank memperkuat sistem keamanan mereka.
Menurut Alan, langkah proaktif dalam menghadapi ancaman ini sangat penting. “Kita harus membangun sistem pertahanan digital yang dapat berkembang dan beradaptasi dengan cepat terhadap ancaman yang muncul,” tambahnya.
Meningkatnya Ancaman Siber di Sektor Keuangan
Wakil Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Muliaman Hadad, juga menekankan bahwa ancaman siber saat ini bukan lagi isu sepele. “Hampir semua bank pasti mengalami serangan siber, dan kesiapan mereka dalam menghadapi ini sangat menentukan,” ungkapnya.
Ia menyoroti pentingnya manajemen risiko sebagai fondasi pertumbuhan yang sehat. “Bukan hanya sekadar mencegah kerugian, tetapi juga bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan,” ujarnya.
Menariknya, kasus dugaan peretasan terhadap sistem BI-FAST memberikan gambaran jelas mengenai kerentanan yang ada. “Dari 2024 hingga Maret 2025, kami mencatat adanya anomali dan potensi penipuan yang bisa menyebabkan kerugian cukup signifikan,” jelasnya.
Kerugian dan Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Ketua LSP Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), Gandung Troy Sulistyantoro, mengingatkan bahwa kerugian dari serangan siber tidak hanya berupa uang. “Reputasi bank juga terancam, terutama bila data nasabah dicuri atau disalahgunakan,” ujarnya.
Kerugian semacam ini bisa menimbulkan efek domino, mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga keuangan. “Masyarakat perlu merasa aman saat bertransaksi, dan serangan siber dapat merusak rasa percaya ini,” lanjutnya.
Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Perekonomian BSSN, Slamet Aji Pamungkas, menyoroti kompleksitas ancaman siber yang semakin meningkat. “Sekitar 70% dari masalah keamanan ini terkait dengan perilaku manusia,” ujarnya, menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran digital.
Peran Bank Indonesia dalam Menangani Kasus Ini
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa bank sentral terus memantau situasi ini. Ia menekankan perlunya kolaborasi dengan OJK dan pihak penegak hukum untuk memastikan pemulihan yang efektif.
“Bank yang terlibat dalam kasus ini telah diminta untuk memperkuat prosedur pengamanan transaksi. Ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran dan melindungi konsumen,” jelas Denny.
Bank Indonesia juga menyatakan komitmennya dalam memperkuat keamanan sistem pembayaran nasional. “Kami sedang melakukan asesmen keamanan dan mengimplementasikan sistem deteksi penipuan untuk melindungi nasabah,” tambahnya.
Pentingnya Kesadaran dan Tindakan Proaktif dari Masyarakat
Denny juga mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi. “Selalu periksa dan konfirmasi data transaksi Anda, serta jaga kerahasiaan PIN dan OTP,” imbaunya.
Masyarakat juga diingatkan untuk memanfaatkan fitur notifikasi untuk memantau aktivitas rekening mereka. “Keamanan merupakan tanggung jawab bersama, baik dari lembaga keuangan maupun masyarakat,” ungkapnya.
Melihat perkembangan ini, sangat penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ancaman siber bisa terjadi kapan saja. “Dengan kolaborasi yang baik antara regulator, industri, dan masyarakat, kita dapat membangun ekosistem yang aman dan berintegritas,” pungkas Denny.
